lusylegilia

I CAN DO IT

Jumat, 13 Desember 2013

Harapan di Langkah Kaki yang Mungil



Matahari mulai mulai hilang dari peradabannya terlihat dari langit yang berubah warna menjadi gelap. Pakaian lusuh yang telah berminggu-minggu masih membungkus tubuhnya. Kaleng yang setiap harinya menjadi alat tampung untuk membeli sesuap nasi pun belum cukup. Semangatnya pun masih utuh, masih berkobar-kobar untuk melantunkan suaranya hingga larut malam. Sesekali dia termenung mengingat pesan mendiang ibunya.
“Semangat nak, bukan suatu masalah tubuhmu yang mungil tetapi semangatmu harus melebihi tubuhmu. Doa ibu selalu mengiringi langkah kakimu. Meski langit tak selamanya biru, dan ibu tak selamanya di sisimu. Namun harapan ibu agar kamu sukses tetap berada di langkah kakimu.”
Angin bertiup kencang, lantunan nada dan suaranya pun makin ditingkatkan. Tak peduli angin semakin menusuk-nusuk tubuhnya mungil, hanya ada satu hal yang dia ketahui, jika kaleng ini sudah cukup terisi maka aku bisa membeli sesuap nasi dan membangun harapan ibu menjadi orang yang sukses di dunia menyanyi.
Segerombol orang di sebuah cafe menarik pandangannya, dengan menengok ke kiri ke kanan memastikan bahwa jalanan cukup sepi untuk disebrangi. Kini kaki kecilnya semakin cepat berlari, menyambut segerombol orang tersebut. Meski usiran yang mungkin di dapatnya, dia tak peduli. Kini dia pun tetap berlari untuk melantunkan suara emasnya.
Hembusan angin malam yang merasuki tulang rusuknya membuat tubuhnya merasa dingin, dingin sekali. Kedua telapak tangannya pun dia gosok-gosok dengan penuh harap kedingingan akan segera sirna. Dia mulai celingak-celinguk mencari tempat untuk menghitung rupiah hasil dari jual suara. Setelah dirasa sudah cukup rupiah yang didapat untuk membeli sesuap nasi, dia lekas pergi mencari warung untuk membeli beberapa makanan untuk malam dan untuk esok pagi.
Sesampainya kaki mungil itu di warung, ada seseorang memintanya untuk menyanyikan sebuah lagu. Tanpa keraguan, dan tanpa pikir panjang dia mulai melantunkan suara emasnya. Dengan mata berbinar-binar seseorang tadi merasa terpanggil untuk menjadi dermawan. Seseorang tadi mulai melontarkan niatnya.
“Maukah kamu ikut ke dapur rekaman saya? Karena sangat disayangkan suara emasmu itu apabila tidak dikembangkan lagi.”
“Benar begitukah? Apa hanya gurauan saja?” Muka mungilnya tampak terkejut
“Tidak, ini hal yang serius. Kebetulan dapur rekaman saya sedang mencari bakat-bakat dari anak-anak kecil, ya seperti kamulah.”
“Wah, baiklah kalau begitu. Saya mau ikut rekaman. Waktu dan tempatnya bagaimana?”
“Waktunya besok jam 10.00 WIB, ini kartu nama saya. Kamu langsung datang saja ke dapur rekaman saya.” Sambil menyodorkan selembar kartu identitas diri
Dia mulai mengambil beberapa makanan yang telah dibelinya, dan beranjak pergi dari warung tersebut. Di perjalanan menuju ke rumah dia mulai melamunkan sosok ibunya yang telah berada di pangkuan sang Illahi.
“Bu, seandainya ibu tahu kalau saya ditawarkan seseorang untuk datang ke dapur rekaman untuk rekaman. Bu, inikah harapan yang kau taruh di kaki mungil ini?. Jika memang begitu terimakasih untuk harapan yang telah kau letakkan di kaki mungil ini, bu.” Ungkapnyasambil menatap bintang yang berkelap-kelip di langit.