Matahari
mulai mulai hilang dari peradabannya terlihat dari langit yang berubah warna
menjadi gelap. Pakaian lusuh yang telah berminggu-minggu masih membungkus
tubuhnya. Kaleng yang setiap harinya menjadi alat tampung untuk membeli sesuap
nasi pun belum cukup. Semangatnya pun masih utuh, masih berkobar-kobar untuk
melantunkan suaranya hingga larut malam. Sesekali dia termenung mengingat pesan
mendiang ibunya.
“Semangat
nak, bukan suatu masalah tubuhmu yang mungil tetapi semangatmu harus melebihi
tubuhmu. Doa ibu selalu mengiringi langkah kakimu. Meski langit tak selamanya
biru, dan ibu tak selamanya di sisimu. Namun harapan ibu agar kamu sukses tetap
berada di langkah kakimu.”
Angin
bertiup kencang, lantunan nada dan suaranya pun makin ditingkatkan. Tak peduli
angin semakin menusuk-nusuk tubuhnya mungil, hanya ada satu hal yang dia
ketahui, jika kaleng ini sudah cukup terisi maka aku bisa membeli sesuap nasi
dan membangun harapan ibu menjadi orang yang sukses di dunia menyanyi.
Segerombol
orang di sebuah cafe menarik pandangannya, dengan menengok ke kiri ke kanan
memastikan bahwa jalanan cukup sepi untuk disebrangi. Kini kaki kecilnya
semakin cepat berlari, menyambut segerombol orang tersebut. Meski usiran yang
mungkin di dapatnya, dia tak peduli. Kini dia pun tetap berlari untuk
melantunkan suara emasnya.
Hembusan
angin malam yang merasuki tulang rusuknya membuat tubuhnya merasa dingin,
dingin sekali. Kedua telapak tangannya pun dia gosok-gosok dengan penuh harap
kedingingan akan segera sirna. Dia mulai celingak-celinguk mencari tempat untuk
menghitung rupiah hasil dari jual suara. Setelah dirasa sudah cukup rupiah yang
didapat untuk membeli sesuap nasi, dia lekas pergi mencari warung untuk membeli
beberapa makanan untuk malam dan untuk esok pagi.
Sesampainya
kaki mungil itu di warung, ada seseorang memintanya untuk menyanyikan sebuah
lagu. Tanpa keraguan, dan tanpa pikir panjang dia mulai melantunkan suara
emasnya. Dengan mata berbinar-binar seseorang tadi merasa terpanggil untuk
menjadi dermawan. Seseorang tadi mulai melontarkan niatnya.
“Maukah kamu ikut ke dapur rekaman
saya? Karena sangat disayangkan suara emasmu itu apabila tidak dikembangkan
lagi.”
“Benar begitukah? Apa hanya gurauan
saja?” Muka mungilnya tampak terkejut
“Tidak, ini hal yang serius.
Kebetulan dapur rekaman saya sedang mencari bakat-bakat dari anak-anak kecil,
ya seperti kamulah.”
“Wah, baiklah kalau begitu. Saya
mau ikut rekaman. Waktu dan tempatnya bagaimana?”
“Waktunya besok jam 10.00 WIB, ini
kartu nama saya. Kamu langsung datang saja ke dapur rekaman saya.” Sambil
menyodorkan selembar kartu identitas diri
Dia mulai
mengambil beberapa makanan yang telah dibelinya, dan beranjak pergi dari warung
tersebut. Di perjalanan menuju ke rumah dia mulai melamunkan sosok ibunya yang
telah berada di pangkuan sang Illahi.
“Bu, seandainya ibu tahu kalau saya
ditawarkan seseorang untuk datang ke dapur rekaman untuk rekaman. Bu, inikah
harapan yang kau taruh di kaki mungil ini?. Jika memang begitu terimakasih
untuk harapan yang telah kau letakkan di kaki mungil ini, bu.” Ungkapnyasambil
menatap bintang yang berkelap-kelip di langit.